Sepatumerah : kumpulan artikel yang dipublikasi

..ehm, belum semua sih :"> - masih harus membongkar-bongkar komputer untuk nemuin file tulisan yang lainnya.

Tuesday, August 22, 2006

From Virtual to Real Love?

Nama depan laki-laki itu hanya terdiri dari 3 huruf.

B – o – y.

Boy.

Nama yang sangat 80-an; tidak pernah gagal untuk membawa ingatan saya kembali pada sosok Onky Alexander yang kerap berjaket kulit hitam, celana jeans bermodel baggy, rambut gondrong yang dikuncir nanggung tidak lupa rayban yang super lebar sampai menutupi nyaris 50% permukaan wajah, yang berperan sebagai Boy dalam film anak muda keren dan spektakular di masa itu: Catatan si Boy I sampai sekian.

Nggak kok, Boy yang saya kenal ini tidak seperti Boy dalam Catatan si Boy yang super tampan, rendah hati, pintar lagipula soleh. Boy yang ini adalah seorang lelaki yang- walaupun kalah tampan dengan Onky Alexander- boleh lah dikategorikan tampan. Saya sudah pernah melihat wajahnya, secara digital dalam file-file berekstensi .jpg di berbagai situs. Saya juga pernah dengar bahwa ia - walau beda fakultas tetapi satu almamater dengan saya, sedang melanjutkan kuliah di salah satu negara di Eropa. Ia juga seorang geek, gadget-freak dan movie freak.

Saya tahu, karena ia lumayan terkenal di dunia persilatan internet.

Tapi, perkenalan pribadi saya dengan Boy adalah ketika menerima sebuah pesan tidak penting darinya dalam inbox saya, yang isinya menanyakan almamater atau tentang teman – entahlah saya lupa. Spontan, karena waktu itu kebetulan hari kurang kerjaan sedunia, saya balas dengan pesan yang sama tidak pentingnya. Nyambung.

Ternyata, balas membalas pesan itu berlanjut beberapa kali. Dalam hitungan minggu, naik tingkat menjadi bercakap-cakap di ruang cakap maya Y!Messenger. Beberapa bulan kemudian, dilanjutkan dengan pertukaran pesan pendek dan sesekali bertelepon.

Jujur saja, saya menikmati hubungan maya dengan mahluk bernama Boy ini. Lama kelamaan, kontak dengan Boy yang bukan Onky Alexander ini menjadi candu selama beberapa bulan selanjutnya. Dan anehnya, saya bisa mengklaim laki-laki ini sebagai cowok-tipe-gue-banget, padahal, sekali lagi, walaupun pernah satu almamater dan fakultas bersebelahan, kami sama sekali tidak pernah bertemu; saya tidak pernah melihat sosoknya secara nyata, seberapa tingginya, seberapa beratnya, apakah perutnya six-bagged atau six-packed, aromanya enak atau tidak, permukaan kulitnya bersisik atau berbulu, mempunyai kebiasaan buruk atau tidak dan seterusnya.

Iya –aduhsungguhsayamalumengakuinya- I get crush with him, an online guy.

Iyaaa, iyaaaa, tertawalah, sebelum tertawa itu dilarang.



“I am deeply falling in love with him” seru seorang teman, suatu siang yang santai bertahun-tahun yang lalu. Saya agak bingung, karena saya tidak pernah melihatnya sedang dekat dengan pria mana pun.

Saya berusaha untuk mengorek siapakah pria beruntung yang dijatuhi cinta teman saya yang keriting dan cantik ini. Awalnya ia menutup mulut. Wajahnya kemerah-merahan menahan malu. Tapi saya adalah teman yang intimidatif, karena akhirnya ia mengaku juga, dengan diawali kalimat "Jangan ketawain gue yaa?" : ia jatuh cinta pada sosok Rockst4r, teman mayanya.

Saat itu, saya tidak tertawa tapi dalam hati menganggapnya aneh, bagaimana mungkin cinta bisa tumbuh, padahal bertemu face to face saja belum, mendengar langsung suaranya pun belum, baru sebatas bertukar pic alias foto, chatting dan bertukar e-mail.

Bagi saya, perasaan apa pun hanya bisa tumbuh jika kita bisa melihat sosoknya langsung, berhadapan, mendengar suara, melihat ekspresi dan gesture serta merasakan emosi yang bersangkutan.

Saya bahkan terbengong-bengong ketika beberapa bulan kemudian ia memutuskan untuk berpacaran dengan Rockst4r-nya, secara maya. Sungguh saat itu, saya tetap tidak mengerti, bagaimana mungkin proses jatuh cinta dan bercinta bisa berlangsung hanya dengan menghadap screen komputer, melihat windows ruang cakap maya yang penuh dengan teks warna-warni dan macam-macam emoticons?

…sampai itu kejadian juga pada saya. Nggak, saat itu nggak sampai jadian,kok, tapi merasakan sensasi suka pada seseorang secara maya.

Lucu, rasanya sama seperti sedang menonton film.

Bulu kuduk saya berdiri ketika melihat adegan pria bermuka rata yang menghadap dinding lift dalam film The Eye. Saya panik ketika melihat Harry Potter berperang melawan Voldermort . Dan saya menangis ketika menonton adegan perginya Onion ke surga dalam film Fly me to Polaris.

Padahal, sama sekali tidak ada alasan yang cukup jelas untuk merasakan sensasi-sensasi demikian, tokoh-tokoh yang ikut saya ‘rasakan’ hanya aktor dan aktris, mereka tidak sedang benar-benar sedang dalam bahaya atau jatuh cinta. Emosi yang hadir di layar berhasil keluar dan mempengaruhi saya yang sebenarnya hanya duduk di bioskop, melihat kepingan film yang diputar 30 frame/detik dengan proyektor.

Kita terbawa oleh banyak hal yang ada dalam film tersebut, sound effect, angle, setting, plot dan seterusnya.

Itulah pengalaman virtual.

Walaupun kata virtual sendiri masih membawa konotasi yang aneh. Virtual berasal dari bahasa Latin; Vertus, yang berarti kebenaran. Tapi dalam penerapannya kini, virtual lebih berarti ‘seperti-benar’, sesuatu yang tidak sepenuhnya benar tapi terlihat benar - atau bisa disebut dengan 'sesuatu yang tidak nyata' tapi terlihat 'nyata'.

Demikian pula saat kita sedang berinteraksi secara maya dengan lawan bicara, walaupun hanya terbatas di jendela cakap maya yang penuh dengan deretan font trebuchet 11 pts dan emoticons (yang tentunya tidak dapat mewakili keseluruhan individu), tapi pikiran kita berusaha mengkonstruksikan keping demi keping temuan dalam interaksi menjadi satu sosok yang utuh.

Mau bagaimana lagi? Dalam kasus interaksi online, mau tidak mau, kita dikondisikan untuk bergantung pada perasaan dan imajinasi untuk menginterpretasikan situasi (ingat, kita tidak bisa melihat dan merasakan langsung yang bersangkutan). Bahkan jika ada kekosongan dalam interaksi, maka pikiran kita lah yang berusaha untuk mengisinya.

Kalau sudah begitu, karena pikiran dan imajinasi manusia tidak terbatas, bukannya tidak mungkin sosok lawan bicara yang kita (pikir kita) kenal, pada akhirnya hanyalah tokoh rekaan pikiran semata, sebuah ilusi.

Dan, sialnya, kita mempercayai bahwa sosok rekaan itu adalah dia yang sebenarnya. Yah, begini deh singkatnya, di dunia online, kita adalah apa yang kita ketikkan sepanjang kita berinteraksi, keutuhan diri kita terbentuk dari imajinasi dan interpretasi lawan bicara.

So, jika dalam film, emosi kita terbawa karena memang semua hal dalam film tersebut mengkondisikan kita agar berimajinasi ikut merasa ada di dalamnya, sedangkan dalam interaksi online, kita dikondisikan untuk berimajinasi tentang lawan bicara dan situasi yang bersangkutan karena ketidaklengkapan interaksi.



Menurut John Gray, yang disebut sebagai pakar hubungan percintaan dalam bukunya yang berjudul Venus and Mars on a Date (fyi, I read this book only to finish this article, I swear! hehehe!), ada lima fase yang harus dilewati untuk melanjutkan sebuah hubungan menjadi hubungan kencan/percintaan :
1. Attraction : fase di mana kita merasakan ketertarikan khusus pada ‘calon-calon’ pasangan.
2. Uncertainty : fase di mana seseorang mulai mempertanyakan kebenaran perasaan ketertarikan terhadap seseorang.
3. Exclusivity : fase di mana seseorang sudah mulai merasakan ingin selalu berdekatan dengan satu orang tertentu secara eksklusif.
4. Intimacy : fase di mana ketika seseorang sudah mulai merasa intim, kita merasa relax dan nyaman bersama orang tersebut.
5. Engagement : fase di mana kita sudah merasa sangat yakin untuk melanjutkan hubungan yang lebih dalam dengan orang tersebut. (Gray: 1997, 4)

“We instantly connected somehow. I feel we’ve known each other forever. I feel I can talk to him about anything.” Itu kata teman saya si Keriting Cantik itu tentang Rockst4r-nya.

Dan ajaib! Saya juga merasakan hal yang sama.

Semua serba cepat dalam hubungan online, bahkan jika dikaitkan dengan fase-fase yang dikemukakan oleh John Gray, ada tendensi untuk melakukan lompatan dari fase 1, attraction, ke fase 4, intimacy.

Keajaiban terjadi pada si Keriting Cantik dan Rockst4r serta saya dan Boy, tanpa harus melewati fase uncertainty dan exclusivity, kami langsung merasakan intim dan nyaman berada ‘dekat-dekat’ dengan ‘pasangan’ serta bisa bercerita apapun padanya.

Hal ini terjadi karena imajinasi bahwa dia adalah tipe-gue-banget dan kesadaran bahwa kita bisa menjadi diri kita sendiri (atau setidaknya menjadi diri kita yang kita ketik) dalam ruang cakap maya tersebut, tanpa harus perduli bahwa kita belum mandi, belum dandan, bahkan sedang berada dalam kondisi ancur-ancuran sekalipun.

Menjadi diri sendiri itu menyenangkan, kan?

Oh ya, ada lagi satu kualitas yang menggoda dalam hubungan online, sesuatu yang tidak kita dapatkan dalam kehidupan nyata – undivided attention; perhatian yang sepenuhnya. Tidak ada gangguan dalam kehidupan online, tidak ada gangguan telepon, tidak ada gangguan pacar dunia nyata, tidak ada suara anjing atau kucing kita, tidak ada suara-suara atau masalah-masalah lain.

Dunia virtual tempat kita berinteraksi adalah dunia yang sunyi. Fokus : Kita. Untuk memiliki perhatian dan simpati seseorang secara total mungkin adalah impian setiap orang – yang sulit didapatkan di dunia nyata, dan mendapatkan hal itu rasanya sungguh menyenangkan.

Ada fase yang terlewati, tapi keajaiban internet membuat fase-fase tersebut menjadi tidak penting. Lah wong tanpa fase-fase itu kita sudah bahagia, mau apa lagi?



Akhirnya si Keriting Cantik itu bertemu secara nyata dengan rockst4r-nya, mereka memutuskan untuk melanjutkan hubungan secara offline. Saya pun demikian, ketika Boy kembali ke Indonesia, kami memutuskan untuk bertemu.

Saya dan Boy sempat bersama. Secara prematur, saya yakin bahwa kami cocok; hubungan kami akan berlanjut cukup lama, mengingat betapa menyenangkannya hubungan online kami yang berlangsung intensif selama nyaris setahun.

Bedanya, hubungan si Keriting Cantik terus berlanjut sampai sekarang. Sedangkan, dalam kasus saya, kesuksesan cinta online tidak berlanjut di dunia offline. Hanya tiga bulan, dan saya keburu bete.

Saya lupa bahwa Boy yang saya ‘kenal’ secara online kemungkinan besar adalah Boy-yang-hasil-imajinasi saya.

Saat berada berhadapan dan bersama-sama secara offline, saat bisa melihat gesture, cara bicara, emosi, kebiasaan dan seterusnya secara nyata tanpa diwakili oleh tulisan dan emoticons, barulah identitas dan karakter individu yang sebenarnya terungkap.

Ketika ekspektasi saya terhadap Boy yang secara online tipe-gue-gue-banget tidak terpenuhi saat bertemu secara nyata, saya kecewa. Bahkan agak frustasi dan sibuk bertanya-tanya,”Kenapa sih kok begini?”, “Kenapa sih, jadi begitu?”, “Kok beda sih?” dan seterusnya.

Saya menuntutnya agar sama seperti ‘Boy’ yang online yang kemungkinan adalah tokoh rekaan pikiran saya sendiri – ya,ya,ya, saya tahu itu tidak benar; maklumlah saya kan tidak memiliki jam terbang tinggi dalam dunia percintaan maya. Yang jelas, bagi saya, hubungan kami berubah menjadi menyebalkan.

Saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa virtual love tidak akan pernah punya happy ending; lha wong buktinya, si Keriting Cantik cukup sukses, karena kini, ia dan rockst4r sedang mempersiapkan pernikahan mereka beberapa bulan lagi. Tapi, kekecewaan mungkin saja terjadi, karena pribadi online individu tidak selalu sama dengan pribadi offlinenya.

Oh ya, kelanjutan cerita saya adalah, saya putuskan untuk tidak menemui Boy lagi setelah mengirimkan pesan selamat tinggal melalui pesan pendek – dan dibalas juga dengan pesan pendek : Have a good life, thanks for everything,dear.

Saya pikir, kami tahu-sama-tahu, bahwa ternyata secara offline kami tidak cocok, dia bukanlah cowok-tipe-gue-banget, vice versa. Sejak saat itu; kami sama sekali tidak pernah berhubungan lagi.

Oh well. Nggak apa-apa. Yang jelas, tidak pernah sekali pun saya menyesal pernah mengenal Boy, baik secara online maupun offline. Sebut saja, itu adalah salah satu pengalaman yang memperkaya jiwa (tsah!). Lagi pula.. psst... he's a quite good kisser. Ha! ha!

(Omigod, I can’t believe I kiss and tell..)

(outmagz edisi Mei 2006)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home