Sepatumerah : kumpulan artikel yang dipublikasi

..ehm, belum semua sih :"> - masih harus membongkar-bongkar komputer untuk nemuin file tulisan yang lainnya.

Tuesday, August 22, 2006

Risiko atau Kesempatan?

Saya masih ingat, suatu pagi bertahun-tahun yang lalu saat umur saya masih di awal 20-an dan masih kuliah, terbangun di sebuah kota asing, dan mendapati diri saya berbaring di atas kasur motel dengan seprai yang penuh dengan bercak-bercak ajaib, bantal berbau paduan antara minyak rambut, minyak PPO dan keringat orang lain, selimut bergaris putih hitam ala seragam Napi Dalton Bersaudara, yang bagian putihnya sudah menguning dan bagian hitamnya mengabu.

Hal yang pertama kali terlintas dalam pikiran saya adalah "Seandainya saya memiliki uang yang cukup, tentunya saya akan check-in di hotel yang nggak begini-begini amat."

Bukannya saya tidak mempersiapkan diri sama sekali untuk menghadapi keadaan seperti ini; bahkan sebelum melakukan perjalanan saya sepenuhnya sadar, bahwa budget yang tersedia, ya cuma cukup untuk membiayai sebentuk perjalanan kere seperti ini.

Walaupun memang tadinya, rencana perjalanan saya yang sebenarnya adalah: menunggu barang sebulan-dua bulan untuk menambah budget agar dapat membiayai perkunjungan ke tempat-tempat menarik dan melakukan aktivitas-aktivitas menyenangkan di kota tersebut. Tapi bukankah kebanyakan orang bodoh cenderung bergerak tanpa berpikir? Dan apa daya, saya adalah salah satu dari mereka.

Maka, begitulah, saya terdampar dengan sukses, agak tersesat, nyaris kehabisan uang dan menyewa kamar motel di sudut antah berantah sebuah kota.

Siangnya, dengan ketar-ketir saya mengecek sisa uang di ATM terdekat yang saya temui. Ternyata saldo hanya mencukupi untuk membiayai perjalanan kembali ke rumah.

Saat itu, sambil keluar dari booth ATM saya berdoa keras agar tidak perlu dihadapkan dengan peristiwa-peristiwa tidak terduga yang membutuhkan pengeluaran.

Memang, untuk amannya, saya bisa menelepon dan meminta orang tua untuk mentransfer sejumlah uang. Tapi sayangnya saya adalah perempuan berspesies 'Lajangus Gengsianus'.

Sambil berjalan mengarungi kota, timbul tekat di hati saya, setelah lulus kuliah, saya harus mempunyai pekerjaan tetap dengan gaji berjumlah tertentu yang pasti akan selalu ada dalam rekening setiap bulan pada tanggal satu.

Setahun kemudian saya lulus kuliah. Memilih untuk melamar ke sebuah perusahaan, diterima, mulai bekerja dan mendapat gaji yang cukup untuk (setidaknya) membiayai perjalanan yang jauh lebih layak jika dibandingkan dengan perjalanan masa kuliah.

Tapi, yang menjadi permasalahan adalah.... saya tidak bisa travelling seenaknya, karena terikat dengan jam wajib hadir dan izin cuti dari kantor.

Dalam waktu kurang dari lima bulan, saya resign, dan menganggap bahwa pilihan bekerja tetap itu salah, membelenggu kebebasan manusia serta mematikan karakter. Maka mulailah saya memilih untuk jadi freelancer di mana-mana.

Menyenangkan sih, giat bekerja mencari proyek ke sana kemari hanya saat tabungan mulai menipis. Bebas menentukan kapan waktu untuk travelling, karena saya sama sekali tidak memiliki ikatan kerja dengan badan apapun. Tapi mungkin, semakin dewasa, kebutuhan manusia semakin meningkat (atau hanya saya saja?), lama-lama pemasukan yang tidak tetap per bulan itu benar-benar membuat saya merasa insecure. Satu pertanyaan klasik yang sering muncul dalam benak. Bagaimana kalau tidak ada job bulan depan?

Demi menjaga keamanan, kenyamanan dan kelangsungan hidup, saya kembali memilih untuk bekerja kantoran (lagi!). Ketika lagi-lagi dihadapkan pada kenyataan bahwa saya terikat waktu, saya kembali resign. Itu terjadi berulang-ulang sehingga membuat track record kerja saya buruk.

Akhirnya, seiring dengan bertambahnya usia, ada satu hal yang saya dapat dari pengalaman saya berloncatan kian kemari berganti pekerjaan, yaitu setiap pilihan pekerjaan, pasti mengandung dua hal: resiko dan kesempatan.

Ketika saya memilih untuk menjadi freelancer, resikonya adalah saya tidak mendapat pemasukan tetap per bulan, kesempatan yang saya miliki adalah, bebas mengatur waktu. Begitu pula sebaliknya ketika saya memilih untuk bekerja full time, saya mendapatkan kesempatan untuk mengamankan pemasukan perbulan, tapi resikonya, saya terikat waktu.

Yah begitulah, berani menentukan pilihan pekerjaan, bukan berarti hanya menerima kesempatan tapi sekaligus juga berani menghadapi resiko. Sekeras apapun kita berusaha berlari-lari dan terus memilih, dua hal tersebut akan selalu ada dalam setiap pilihan.

Anyway, kalau sekarang saya dihadapkan dengan pilihan untuk bekerja seperti Carrie Bradshaw dalam 'Sex in The City', sepertinya saya akan memilih pekerjaan itu, dengan segala resiko dan kesempatannya… :D

(Eve Magazine, Edisi Mei 2006)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home